SELAMAT DATANG

BULETIN UPK CIREBON

Kunjungan Menkokesra RI (02/05/2010)

Kunjungan Menkokesra RI (02/05/2010)
Ketua Forum UPK sedang Menyerahkan Booklet PNPM Kab. Cirebon Kepada Menkokesra RI disaksikan oleh Bupati Cirebon
Powered By Blogger

Selasa, 02 November 2010

Cakrawala: Catatan Kecil untuk PNPM MPd...

Catatan Kecil untu PNPM Mandiri Perdesaan
Oleh : Iwan Hermawan*)

Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tujuan akhir pembangunan adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Syarat utama pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pembangunan bertumpu pada kemampuan ekonomi dalam negeri, atau tepatnya pada kemandirian. Kemandirian mengandung arti bahwa proses pembangunan diciptakan dari setiap anggota masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat, dan untuk setiap anggota masyarakat.
Kemiskinan merupakan suatu masalah yang ada sudah sejak lama dan hampir bisa dikatakan akan tetap menjadi “kenyataan abadi” dalam kehidupan. Pengertian kemiskinan sendiri sebagai suatu konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak terkait dari istilah pembangunan. Karena itu dalam setiap pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan kemiskinan mendapatkan tempat yang cukup penting. Pada tahap ini, kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam pembangunan yang keberadaannya ditandai oleh adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.
Secara bersamaan, kenyataan tersebut bukan saja menimbulkan tantangan tersendiri, tetapi juga memperlihatkan adanya suatu mekanisme dan proses yang tidak beres dalam pembangunan. Penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan secara bertahap, terus menerus dan terpadu yang didasarkan pada kemandirian yaitu meningkatkan kemampuan penduduk yang miskin untuk menolong diri mereka sendiri. Hal ini berarti pemberian kesempatan yang luas bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih besar.
Pemberian kesempatan dan peningkatan kemampuan penduduk miskin menyangkut kemudahan untuk memperoleh sumber daya, mendayagunakan kemajuan teknologi, memanfaatkan pasar secara terus menerus, serta mendapatkan layanan dari berbagai sumber pembiayaan. dalam penanggulangan kemiskinan.  Pemerintah harus mengembalikan keberdayaan pada manusia sebagai pelaku sektor primer. Peran pemerintah hanya sekedar fasilitator, memberikan peluang dan kesempatan agar masyarakat mampu merumuskan langkah mereka sendiri.
Memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Ini berarti bahwa memberdayakan masyarakat itu adalah memampukan dan memandirikan masyarakat, dalam hal ini rakyat yang berpendapatan rendah, miskin, dan terbelakang, khususnya dalam kehidupan ekonominya. Jadi pemberdayaan itu adalah upaya untuk membangun daya dan tenaga yang dimiliki masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk dapat mengembangkan dalam kehidupannya.
Pembangunan yang muncul dari masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat, dan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang perlu terus dimantapkan sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat secara berkelanjutan. Melalui strategi ini prinsip bantuan langsung, peranserta aktif, efisiensi, dan transparansi, serta produktifitas masyarakat menjadi pedoman dalam setiap langkah pembangunan nasional. Pemahaman tentang strategi demikian harus utuh sehingga bantuan program pembangunan dapat benar-benar efektif serta mampu meningkatkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Program-program pembangunan perlu dipahami sebagai upaya pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Model pembangunan yang partisipatif mengutamakan pembangunan yang dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal, khususnya di perdesaan dalam wadah musyawarah pembangunan di tingkat kecamatan (atau dalam suatu area kluster/kelompok). Model pembangunan partisipatif menekankan upaya pengembangan
kapasitas masyarakat dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat. Segenap unsur masyarakat khususnya aparat pemerintah daerah diharapkan dapat membantu
menyiapkan masyarakat untuk menerima bantuan program bagi kegiatan ekonomi produktif. Penyiapan masyarakat dalam wadah kelompok masyarakat (pokmas) diharapkan dapat tumbuh menjadi suatu lembaga yang mampu merencanakan  melaksanakan, dan melestarikan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
Beberapa hal yang menjadi realita di lapangan meskipun tidak bermaksud mengeneralisir tetapi menjadi penting untuk kita cermati :
Distorsi  dan  Monopoli  Informasi  
Satu  gejala  kuat  yang  terdapat  hampir  di  semua  desa  yang  menerima  program  ialah  monopoli  informasi  dan  sosialisasi  oleh  segelintir  elit  desa,  sehingga  prinsip  transparansi  tidak  berjalan.  Ketika  sosialisasi  program  dilaksanakan  di  kecamatan  yang  menghadirkan  para  kepala  desa,  ketua  BPD,  ketua  LPMD  dan  tokoh  masyarakat,  tujuan  dan  sasaran  program  sudah  dijelaskan  secara  rinci.  Distorsi  dan  monopoli  informasi  segera  terjadi  ketika  sosialisasi  serupa  dilakukan  di  tingkat  desa  atau  dusun,  karena  yang  hadir  dalam  pertemuan  tersebut  lagilagi  adalah  lapisan  elit  desa.  Hal  ini  bukan  sematamata  kesalahan  kaum  elit  desa  yang  seakanakan  menyembunyikan  orangorang  miskin  yang  berhak  atas  bantuan  dana  itu,  melainkan  terjadi  pula  karena  budaya  paternalistik  yang  sudah  mengakar  kuat.  “Bapakbapak  yang  datang  dari  kota  memberikan  “penyuluhan”  harus  disambut  oleh  orangorang  yang  patut  dan  terhormat  di  desa  itu.  Demikianlah  pandangan  kaum  elit  desa.
Tindakan  menghindari  transparansi  dan  monopoli  informasi  ini  juga  dilakukan  secara  sadar  oleh  para  elit  desa  dengan  alasan  takut  menjadi  bumerang  dan  membahayakan  kedudukannya.  Logikanya,  kalau  elit  menyebarkan  informasi  mengenai  bantuan  dana  program  seluasluasnya  kepada  seluruh  warga  desa,  mau  tak  mau  elit  tersebut  harus  ikut  bertanggung  jawab  atas  konsekwensi  dari  penyaluran  dana  tersebut  kepada  yang  berhak  yaitu kaum  miskin.  Masalahnya,  para  elit  desa  tidak  percaya  pada  kemampuan  orang  miskin  untuk  mengembalikan  dana  bantuan  guna  digulirkan  kembali.  Dalam  hal  ini,  elit  desa  yang  biasanya  di  dominasi  oleh  kepala  desa  beserta  perangkatnya  takut  pada  2  pihak.  Pertama,  pada  rakyatnya  sendiri  yang  bisa  jadi  akan  menuntut  perguliran  dana.  Kedua,  pada  atasannya  di  kecamatan  yang  sewaktuwaktu  akan  menuntut  pertanggungjawaban  dan  menimpakan  kesalahan  pada  kepala  desa,  jika  program  mengalami  kegagalan.  Bersikap  transparan  pada  warga  sendiri  tampaknya  bukan  hal  yang  mudah  bagi  seorang  elit  desa,  di  pihak  warga  telah  berkembang  pula  semacam  apatisme  dan  keraguan  bahwa  elit  desanya  akan  jujur  dalam  urusan  uang  asal  dari  pemerintah.
 Dagelan Musyawarah  Elit  Desa
Dalam  prakteknya,  musyawarah  desa  yang  diharapkan  menjadi  wadah  penggodogan  rencana  kegiatan  berbagai  proram secara  demokratis  dan transparan  sesuai  dengan  isi  juklak,  tak  lebih  sebagai  musyawarah  para  golongan  elit  desa.  Orangorang  miskin  yang  menjadi  sasaran  program  tidak  dilibatkan  ataupun  diinformasikan  tentang  pelaksanaan  program  dalam  suatu  musyawarah  yang  membicarakan  nasib  orang  miskin  itu  sendiri.  Keputusan  ditempuh  berdasarkan  pemikiran  para  elit  desa  mengenai  apa  yang  sebaiknya  dilakukan  dengan  dana  bantuan  program.  Fenomena  ini  merupakan  produk  lama  dengan  pihak  pimpinan  yang  senantiasa  menganggap  rakyatnya  bodoh,  dan  merekalah  yang  paling  tahu  atas  apa  yang  seharusnya  dilakukan  untuk  rakyat  miskin  itu.  Dengan  demikian,  partisipasi  yang  setara  dan  adil  terhadap  sumber  daya  dan  informasi  tidak  terlaksana  dalam  konteks  pengelolaan  program.
 Uang Kaget ala Program
Pengalaman  mengajarkan  pada  penduduk  desa  bahwa  program  bantuan  dana  dari  manapun  yang  melewati  Pemerintah  adalah  sesuatu  yang  idak  perlu  dikembalikan.  Bahkan,  terdapat  pandangan  bahwa  kewajiban  pemerintah  lah  yang  memberikan  bantuan  kepada  rakyatnya.  Bukan  hanya  kepala  desa  saja  yang  nakal  dalam  urusan  bantuan  dana  dari pemerintah, rakyat  yang  ‘polos’  sebagaimana  yang  sering  di  gambarkan  oleh  kalangan LSM.  Rencana  kegiatan  yang  dituangkan  dalam  usulan  proposal  jelas  merupakan  akalakalan  untuk  menangguk  rejeki.  Mereka  yang  pandai  membuat  proposal  demikian  bukanlah  rakyat  yang  sebenarbenarnya  miskin,  melainkan  mereka  yang  tergolong  kelas  menengah  di  desa.
Dalam  konteks  program,  sangat  sulit  untuk  menyakinkan  penduduk  desa  bahwa  dana  bantuan  yang  disalurkan  desanya,  merupakan  investasi  yang  dapat  mereka  kembangkan untuk  keuntungan  bersama  melalui  perguliran.  Ada  keraguan  didalam  diri  mereka  bahwa  penerima  pertama  tidak  akan  taat  untuk  mengembalikan  dana  yang  diperoleh,  sehingga  sikap  saling  percaya  tidak  bisa.  Hal  ini  sangat  kontras  dengan  model  arisan  yang  bisa  hidup  lestari  karena  dilandasi  oleh  adanya  investasi  modal  sosial  diantar  pesertanya.  Dalam  urusan  uang  bantuan  pemerintah,  yang  justru  tumbuh  adalah  sikap  saling  curiga  antar  warga  desa,  dan  antara  warga  dengan  aparat  desa  atau  kecamatan.  Dana  bantuan  tampaknya  dipahami  sebagai  rejeki  nomplok  yang  layak  diperebutkan!!!!.
 Birokrasi yang Setengah Hati
Pengelolaan  program  yang  mulai  mengakomodasikan  pendekatan  partisipatif,  tampaknya  merupakan  hikmah  dari  reformasi.  Namun,  di  tingkat  paling  bawah  khususnya  desa  dan  kecamatan,  apa  yang  terjadi  dengan  perubahan  paradigma  itu  adalah  kegamangan  yang  cukup  jelas  tampak  dalam  sikap  dan  perilaku  aparat  birokrasi,  atau  mereka  yang  selama  ini  menjadi  agen  pembangunan.  Pengelolaan  program   langsung  ke  masyarakat,  dengan  kebijakan  memangkas  jalur  birokrasi  kecamatan  atau  kelurahan  dan  mengurangi  kekuasaan  Camat  atau  Lurah,  membuat  para  ‘penguasa’  tersebut  menjadi  uringuringan,  bersikap  acuh  tak  acuh  terhadap  penyelenggaraan  proyek.  Mereka  seakanakan  ragu  (baca  khawatir)  dengan  privilege yang  sekonyongkonyong  dicabut  dari  tangannya  dan  diserahkan  ke  rakyat.
Kasuskasus  yang  terjadi  dalam  pelaksanaan  program  memperlihatkan  bahwa  prinsipprinsip  pengelolaan  yang  secara  konseptual  sesungguhnya  telah  membuka  peluang  bagi  terciptanya  infrastruktur  sosial  yang  kondusif  bagi  pengembangan  investasi  modal,  ternyata  dapat  dikatakan  belum  mencapai  tujuannya.  Proyek  inipun  belum  bisa  dikatakan  berjalan  dengan  sempurna  sebagai  contoh  model  pembangunan  partisipatif  yang  dirancang  oleh  World Bank dan  Pemerintah.  Kegagalan  ini  terjadi  karena  adanya  ‘distorsi’  yang  cukup  besar  dalam  menterjemahkan  prinsip‐prinsip  dari  program  yang  ada  di  tingkat  bawah,  terutama  oleh  aparat  atau  agen  pembangunan  (konsultan)  yang  masih  dikungkung  oleh  ‘budaya  dan  struktur  pembangunan’  orde  baru.
Mudah-mudahan catatan kecil ini bisa menjadi sesuatu yang ada arti walau seperti buih di tengah samudera setidaknya keberadaanya menjadi pelengkap gelombang samudera.
*) Mantan FK di Kab. Cirebon, sekarang PNS di Sumedang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar