Catatan Kecil untu PNPM Mandiri Perdesaan
Oleh : Iwan Hermawan*)
Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tujuan akhir pembangunan adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Syarat utama pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pembangunan bertumpu pada kemampuan ekonomi dalam negeri, atau tepatnya pada kemandirian. Kemandirian mengandung arti bahwa proses pembangunan diciptakan dari setiap anggota masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat, dan untuk setiap anggota masyarakat.
Kemiskinan merupakan suatu masalah yang ada sudah sejak lama dan hampir bisa dikatakan akan tetap menjadi “kenyataan abadi” dalam kehidupan. Pengertian kemiskinan sendiri sebagai suatu konsep ilmiah yang lahir sebagai dampak terkait dari istilah pembangunan. Karena itu dalam setiap pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan kemiskinan mendapatkan tempat yang cukup penting. Pada tahap ini, kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam pembangunan yang keberadaannya ditandai oleh adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.
Secara bersamaan, kenyataan tersebut bukan saja menimbulkan tantangan tersendiri, tetapi juga memperlihatkan adanya suatu mekanisme dan proses yang tidak beres dalam pembangunan. Penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan secara bertahap, terus menerus dan terpadu yang didasarkan pada kemandirian yaitu meningkatkan kemampuan penduduk yang miskin untuk menolong diri mereka sendiri. Hal ini berarti pemberian kesempatan yang luas bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih besar.
Pemberian kesempatan dan peningkatan kemampuan penduduk miskin menyangkut kemudahan untuk memperoleh sumber daya, mendayagunakan kemajuan teknologi, memanfaatkan pasar secara terus menerus, serta mendapatkan layanan dari berbagai sumber pembiayaan. dalam penanggulangan kemiskinan. Pemerintah harus mengembalikan keberdayaan pada manusia sebagai pelaku sektor primer. Peran pemerintah hanya sekedar fasilitator, memberikan peluang dan kesempatan agar masyarakat mampu merumuskan langkah mereka sendiri.
Memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Ini berarti bahwa memberdayakan masyarakat itu adalah memampukan dan memandirikan masyarakat, dalam hal ini rakyat yang berpendapatan rendah, miskin, dan terbelakang, khususnya dalam kehidupan ekonominya. Jadi pemberdayaan itu adalah upaya untuk membangun daya dan tenaga yang dimiliki masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk dapat mengembangkan dalam kehidupannya.
Pembangunan yang muncul dari masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat, dan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang perlu terus dimantapkan sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat secara berkelanjutan. Melalui strategi ini prinsip bantuan langsung, peranserta aktif, efisiensi, dan transparansi, serta produktifitas masyarakat menjadi pedoman dalam setiap langkah pembangunan nasional. Pemahaman tentang strategi demikian harus utuh sehingga bantuan program pembangunan dapat benar-benar efektif serta mampu meningkatkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Program-program pembangunan perlu dipahami sebagai upaya pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Model pembangunan yang partisipatif mengutamakan pembangunan yang dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal, khususnya di perdesaan dalam wadah musyawarah pembangunan di tingkat kecamatan (atau dalam suatu area kluster/kelompok). Model pembangunan partisipatif menekankan upaya pengembangan
kapasitas masyarakat dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat. Segenap unsur masyarakat khususnya aparat pemerintah daerah diharapkan dapat membantu
menyiapkan masyarakat untuk menerima bantuan program bagi kegiatan ekonomi produktif. Penyiapan masyarakat dalam wadah kelompok masyarakat (pokmas) diharapkan dapat tumbuh menjadi suatu lembaga yang mampu merencanakan melaksanakan, dan melestarikan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
Beberapa hal yang menjadi realita di lapangan meskipun tidak bermaksud mengeneralisir tetapi menjadi penting untuk kita cermati :
Distorsi dan Monopoli Informasi
Satu gejala kuat yang terdapat hampir di semua desa yang menerima program ialah monopoli informasi dan sosialisasi oleh segelintir elit desa, sehingga prinsip transparansi tidak berjalan. Ketika sosialisasi program dilaksanakan di kecamatan yang menghadirkan para kepala desa, ketua BPD, ketua LPMD dan tokoh masyarakat, tujuan dan sasaran program sudah dijelaskan secara rinci. Distorsi dan monopoli informasi segera terjadi ketika sosialisasi serupa dilakukan di tingkat desa atau dusun, karena yang hadir dalam pertemuan tersebut lagi‐lagi adalah lapisan elit desa. Hal ini bukan semata‐mata kesalahan kaum elit desa yang seakan‐akan menyembunyikan orang‐orang miskin yang berhak atas bantuan dana itu, melainkan terjadi pula karena budaya paternalistik yang sudah mengakar kuat. “Bapak‐bapak yang datang dari kota memberikan “penyuluhan” harus disambut oleh orang‐orang yang patut dan terhormat di desa itu. Demikianlah pandangan kaum elit desa.
Tindakan menghindari transparansi dan monopoli informasi ini juga dilakukan secara sadar oleh para elit desa dengan alasan takut menjadi bumerang dan membahayakan kedudukannya. Logikanya, kalau elit menyebarkan informasi mengenai bantuan dana program seluas‐luasnya kepada seluruh warga desa, mau tak mau elit tersebut harus ikut bertanggung jawab atas konsekwensi dari penyaluran dana tersebut kepada yang berhak yaitu kaum miskin. Masalahnya, para elit desa tidak percaya pada kemampuan orang miskin untuk mengembalikan dana bantuan guna digulirkan kembali. Dalam hal ini, elit desa yang biasanya di dominasi oleh kepala desa beserta perangkatnya takut pada 2 pihak. Pertama, pada rakyatnya sendiri yang bisa jadi akan menuntut perguliran dana. Kedua, pada atasannya di kecamatan yang sewaktu‐waktu akan menuntut pertanggungjawaban dan menimpakan kesalahan pada kepala desa, jika program mengalami kegagalan. Bersikap transparan pada warga sendiri tampaknya bukan hal yang mudah bagi seorang elit desa, di pihak warga telah berkembang pula semacam apatisme dan keraguan bahwa elit desanya akan jujur dalam urusan uang asal dari pemerintah.
Dagelan Musyawarah Elit Desa
Dalam prakteknya, musyawarah desa yang diharapkan menjadi wadah penggodogan rencana kegiatan berbagai proram secara demokratis dan transparan sesuai dengan isi juklak, tak lebih sebagai musyawarah para golongan elit desa. Orang‐orang miskin yang menjadi sasaran program tidak dilibatkan ataupun diinformasikan tentang pelaksanaan program dalam suatu musyawarah yang membicarakan nasib orang miskin itu sendiri. Keputusan ditempuh berdasarkan pemikiran para elit desa mengenai apa yang sebaiknya dilakukan dengan dana bantuan program. Fenomena ini merupakan produk lama dengan pihak pimpinan yang senantiasa menganggap rakyatnya bodoh, dan merekalah yang paling tahu atas apa yang seharusnya dilakukan untuk rakyat miskin itu. Dengan demikian, partisipasi yang setara dan adil terhadap sumber daya dan informasi tidak terlaksana dalam konteks pengelolaan program.
Uang Kaget ala Program
Pengalaman mengajarkan pada penduduk desa bahwa program bantuan dana dari manapun yang melewati Pemerintah adalah sesuatu yang idak perlu dikembalikan. Bahkan, terdapat pandangan bahwa kewajiban pemerintah lah yang memberikan bantuan kepada rakyatnya. Bukan hanya kepala desa saja yang nakal dalam urusan bantuan dana dari pemerintah, rakyat yang ‘polos’ sebagaimana yang sering di gambarkan oleh kalangan LSM. Rencana kegiatan yang dituangkan dalam usulan proposal jelas merupakan akal‐akalan untuk menangguk rejeki. Mereka yang pandai membuat proposal demikian bukanlah rakyat yang sebenar‐benarnya miskin, melainkan mereka yang tergolong kelas menengah di desa.
Dalam konteks program, sangat sulit untuk menyakinkan penduduk desa bahwa dana bantuan yang disalurkan desanya, merupakan investasi yang dapat mereka kembangkan untuk keuntungan bersama melalui perguliran. Ada keraguan didalam diri mereka bahwa penerima pertama tidak akan taat untuk mengembalikan dana yang diperoleh, sehingga sikap saling percaya tidak bisa. Hal ini sangat kontras dengan model arisan yang bisa hidup lestari karena dilandasi oleh adanya investasi modal sosial diantar pesertanya. Dalam urusan uang bantuan pemerintah, yang justru tumbuh adalah sikap saling curiga antar warga desa, dan antara warga dengan aparat desa atau kecamatan. Dana bantuan tampaknya dipahami sebagai rejeki nomplok yang layak diperebutkan!!!!.
Birokrasi yang Setengah Hati
Pengelolaan program yang mulai mengakomodasikan pendekatan partisipatif, tampaknya merupakan hikmah dari reformasi. Namun, di tingkat paling bawah khususnya desa dan kecamatan, apa yang terjadi dengan perubahan paradigma itu adalah kegamangan yang cukup jelas tampak dalam sikap dan perilaku aparat birokrasi, atau mereka yang selama ini menjadi agen pembangunan. Pengelolaan program langsung ke masyarakat, dengan kebijakan memangkas jalur birokrasi kecamatan atau kelurahan dan mengurangi kekuasaan Camat atau Lurah, membuat para ‘penguasa’ tersebut menjadi uring‐uringan, bersikap acuh tak acuh terhadap penyelenggaraan proyek. Mereka seakan‐akan ragu (baca khawatir) dengan privilege yang sekonyong‐konyong dicabut dari tangannya dan diserahkan ke rakyat.
Kasus‐kasus yang terjadi dalam pelaksanaan program memperlihatkan bahwa prinsip‐prinsip pengelolaan yang secara konseptual sesungguhnya telah membuka peluang bagi terciptanya infrastruktur sosial yang kondusif bagi pengembangan investasi modal, ternyata dapat dikatakan belum mencapai tujuannya. Proyek inipun belum bisa dikatakan berjalan dengan sempurna sebagai contoh model pembangunan partisipatif yang dirancang oleh World Bank dan Pemerintah. Kegagalan ini terjadi karena adanya ‘distorsi’ yang cukup besar dalam menterjemahkan prinsip‐prinsip dari program yang ada di tingkat bawah, terutama oleh aparat atau agen pembangunan (konsultan) yang masih dikungkung oleh ‘budaya dan struktur pembangunan’ orde baru.
Mudah-mudahan catatan kecil ini bisa menjadi sesuatu yang ada arti walau seperti buih di tengah samudera setidaknya keberadaanya menjadi pelengkap gelombang samudera.
*) Mantan FK di Kab. Cirebon, sekarang PNS di Sumedang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar