We Are not Employees but The Manager…
Delapan tahun yang lalu, tepatnya di penghujung tahun 2002, saya mengikuti pertemuan Ketua UPK se-Provinsi Jawa Barat. Kami semua berkumpul di Sentra Pendidikan dan Pelatihan BRI, Lembang, Bandung. Hampir seluruh ketua UPK di pelosok Jawa Barat hadir. Oleh BPM Provinsi selaku penyelenggara, acara ini diberi tajug “Penyegaran Materi ke-PPK-an”. Sebagai orang baru di PPK, karena baru satu tahun terpilih, saya sangat bersemangat mengikuti acara ini. Alasan saya sederhana, barangkali saja mendapat peluang untuk menaikkan honor saya sebagai pengurus UPK. Sehingga satu-satunya gagasan yang saya usung adalah bagaimana membuat standardisasi gaji UPK di Jawa Barat. Dengan gagasan itu, saya berharap tidak ada lagi kesenjangan honor/gaji/insentif antara UPK yang satu dengan lainnya. Dengan begitu pula, saya tidak harus “menderita” bila mendengar gaji teman-teman di tempat lain jauh lebih layak ketimbang yang saya terima.
Tapi sayang, selama tiga hari berdiskusi dan menyerap informasi disana tidak ada yang memuaskan dan memberi solusi kongkrit bagi gagasan saya. Hingga akhir acara pun, tidak banyak yang saya dapat selain kekecewaan. Bahkan saya menganggap cuma silaturrahim biasa saja. Pertanyaan saya mengapa kegiatan sekelas itu tidak bisa memberikan solusi bagi gagasan saya?.
Beberapa tahun terakhir, saya baru menyadari ternyata pemahaman saya terhadap UPK keliru. Gagasan untuk membuat standardisasi gaji adalah sangat tidak tepat. UPK adalah lembaga mandiri dan tidak menjadi sub-ordinasi dari lembaga apapun. Sehingga, gaji/honor pengurus sangat ditentukan pada kinerja dan kondisi kesehatan keuangan UPK sendiri. Untuk itu, kewajiban pengurus UPK mengelola seoptimal mungkin dana masyarakat yang diamanatkan kepada mereka agar tumbuhkembang dan sehat. Pada gilirannya, pengurus dapat menetapkan gaji yang dikehendakinya sepanjang komposisi keuangan yang dikelola memungkinkan untuk itu. Kedudukan pengurus UPK tidak hanya sebatas sebagai pengurus tetapi juga manajer. Masalahnya adalah seberapa jauh kita memahami kesehatan kondisi keuangan UPK?.
Tentunya, butuh waktu dan kesabaran untuk mengasah pemahaman kita tentang hal itu. Yang jelas, UPK tempat pembelajaran untuk menjadi manajer yang handal dan professional. Tapi ingat! sebagai manajer kita mempunyai resiko moral yang tinggi bila keliru mengambil kebijakan. Apalagi kebijakan yang didasarkan pada subyektifitas kita selaku pribadi. Sederhananya adalah bagaimana kita melestarikan pinjaman dan mengembangkannya sesuai prinsip dan prosedur PNPM. Ketika kita mampu mengimplementasikannya maka kita adalah manajer dan bukan karyawan. Dengan sendirinya, kita tidak perlu bertanya berapa gaji pengurus UPK lain, kecuali menetapkan sendiri sesuai dengan kapasitas dan kinerja kita.
Benar sekali teori fisika bahwa ‘hasil itu sebesar usaha’. Semakin tinggi usaha yang kita perbuat maka akan semakin besar pula hasil yang bisa kita raih. Saya percaya bahwa di lain tempat ada pengurus UPK yang tidak berminat memilih profesi lain, karena telah merasakan hasilnya. Dan sudah tentu, mareka pasti tidak serta merta memperolehnya. Good job…., I like it, kata Riyanti….!
Kang Ujang
Baca selengkapnya......